Minggu, 06 Mei 2012

Mengapa Begini Mengapa Begitu - Ven Thubten Chodron (English Version: I Wonder Why) - Part 9 - Kemelekatan, Ketidakmelekatan & Keinginan


Anumodana Penerjemah : Tim Sekber PMVBI (Sdr. Amri, S.E.)


KEMELEKATAN, KETIDAKMELEKATAN & KEINGINAN
Apa beda antara memiliki kemelekatan dengan orang dan mencintai orang itu?
Dengan kemelekatan kita menilai berlebihan kualitas orang itu, berpikir bahwa mereka lebih baik dari yang sebenarnya. Juga kita perhatian pada mereka karena mereka menyenangkan kita: mereka memberi kita hadiah, memuji kita, membantu dan mendorong kita, dll. Apa yang umum kita sebut cinta biasanya hanyalah kemelekatan. Dengan kemelekatan, kita tidak melihat orang sebagaimana adanya dan mengembangkan harapan atas mereka: mereka seharusnya seperti ini, mereka seharusnya melakukan itu, dll. Kemudian, ketika mereka tidak seperti yang kita pikirkan, kita terluka, kecewa, dan menyalahkan mereka.
Dengan cinta sejati, kita memberi perhatian pada orang lain dan menginginkan mereka bahagia bukan karena mereka menyenangkan ego dan keinginan kita, tetapi hanya karena mereka ada. Cinta sejati tidak berharap sesuatu sebagai balasan. Kita menerima orang sebagaimana adanya dan masih mencoba membantu mereka, tetapi kita tidak memperhatikan sama sekali bagaimana kita mengambil keuntungan dari hubungan itu. Cinta sejati tidak cemburuan dan memiliki. Lebih dari itu, ia tidak terbatas dan berbagi dengan semua mahluk.

Bila kita tidak melekat, mungkinkah bersama teman dan keluarga kita?
Tentu saja! Ketidakmelekatan tidak berarti penolakan. Dengan ketidakmelekatan, kita tidak lagi memiliki harapan yang tidak realistik terhadap yang lain, tidak pula "memegang erat" pada mereka, berpikir kita akan sengsara ketika mereka tidak ada di sekeliling. Ketidakmelekatan adalah sikap tenang, realistik, terbuka, dan sikap mau menerima. Bukannya bermusuhan, ketakutan dan tidak bergaul. Ketidakmelekatan tidak berarti kita menolak teman dan keluarga kita: ketidakmelekatan berarti kita berhubungan dengan mereka dalam cara yang berbeda. Ketika kita tidak melekat, hubungan kita dengan yang lain harmonis, dan dalam kenyataannya, kita lebih perhatian pada mereka.
Apakah semua keinginan adalah buruk? Bagaimana dengan keinginan mencapai nirvana atau pencerahan?
Kebingungan muncul karena kita menggunakan kata bahasa Inggris "desire" sebagai terjemahan dua kata yang berbeda. Pada kenyataannya, ada perbedaan jenis "desire". Keinginan yang memberi kita masalah adalah yang membesar-besarkan kualitas baik dari sebuah objek, orang atau ide dan "memegang erat" padanya. Keinginan seperti ini adalah sebuah bentuk kemelekatan. Contohnya adalah menjadi secara emosional tergantung pada seseorang, dan "memegang erat" padanya. Sebenarnya, orang lain itu tidaklah seperti pandangan salah kemelekatan kita yang membuatnya terlihat demikian.
Namun keinginan yang memacu kita mempersiapkan kehidupan yang akan datang atau mencapai nirvana atau pencerahan adalah berbeda sama sekali. Di sini kita secara tepat melihat dan mengembangkan aspirasi yang realistik untuk mencapainya. Tidak ada konsep salah yang ikut, tidak pula kita melekat pada hasil yang diinginkan.
Dapatkah seseorang melekat pada Buddhisme? Apa yang seharusnya kita lakukan bila seseorang menyerang kepercayaan kita dan mengkritik Dharma?
Tiap situasi harus dinilai satu per satu. Namun secara umum bila kita merasa, "mereka mengkritik kepercayaanku. Mereka berpikir saya bodoh percaya hal itu," ini artinya kita melekat pada kepercayaan kita. Kita berpikir, "Kepercayaan ini baik karena milikku. Bila seseorang mengkritiknya, mereka mengkritik diriku." Sederhananya ini adalah kemelekatan dan sangat tidak produktif. Sikap seperti ini harus ditinggalkan. Kita bukanlah kepercayaan kita. Bahwa yang lain menantang kepercayaan kita bukan berarti kita bodoh.
Adalah bermanfaat terbuka pada apa yang dikatakan yang lain. Mari tidak melekat atas nama dan label agama kita. Kita mencari kebenaran dan kebahagiaan, ya kan, bukan hanya mempertahankan agama yang kita anut. Sang Buddha sendiri berkata kita seharusnya memeriksa ajarannya dan tidak sekedar percaya secara buta.
Di sisi lain, tidaklah berarti kita otomatis setuju pada apapun kata orang; kita tidak melepas kepercayaan kita dan mengikuti mereka tanpa pandang bulu. Manakala seseorang menanyakan sebuah pertanyaan yang tidak dapat kita jawab, tidaklah berarti ajaran Sang Buddha salah. Ini gampang saja menandakan kita tidak mengetahui jawabannya dan kita butuh belajar dan merenung lagi. Kita seharusnya pergi ke umat Buddha lain yang memiliki pengetahuan atas pertanyaan ini dan berpikir tentang jawaban yang mereka berikan. Ketika orang lain menanyakan kepercayaan kita menunjukkan pada kita apa yang belum kita pahami dengan baik. Ini membuat kita mempelajari Dharma dan memikirkan dengan sungguh-sungguh artinya secara lebih mendalam.
Kita tidak perlu mempertahankan kepercayaan kita pada orang lain. Bila orang itu menanyakan dengan keingintahuan yang tulus untuk mengetahui jawabannya, bila orang itu terbuka batinnya atau tertarik dalam diskusi luas, maka bercerita padanya dapat saling memperkaya pengetahuan. Namun, bila seseorang benar-benar tidak ingin balasan, dan hanya ingin mengaduk-aduk bahasa verbal untuk memusuhi kita atau membuat kita bingung, maka dialog adalah tidak mungkin. Tidak ada gunanya bertahan di hadapan orang seperti ini - kita tidak perlu membuktikan apa-apa pada mereka. Bahkan bila kita membalas pertanyaan dengan pendapat sempurna dan logis, ia tidak mendengarkan karena terbenam dalam konsepnya sendiri. Tiada gunanya terlibat percakapan dengan orang seperti ini. Tanpa bermaksud kasar padanya, kita dapat diam saja sehingga ia tahu kita ingin sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...