Minggu, 06 Mei 2012

Mengapa Begini Mengapa Begitu - Ven Thubten Chodron (English Version: I Wonder Why) - Part 7 - Ketidakkekalan dan Penderitaan



Anumodana Penerjemah : Tim Sekber PMVBI (Sdr. Amri, S.E.)


KETIDAKKEKALAN & PENDERITAAN
Dalam Buddhisme, ada penekanan yang besar pada ketidakkekalan, kematian, dan penderitaan. Tidakkah itu pendekatan untuk kehidupan yang tidak sehat?
Tujuan merenungkan ketidakkekalan, kematian, dan penderitaan bukanlah agar kita menjadi tertekan dan kesenangan diambil dalam hidup. Tujuannya untuk membersihkan diri kita dari kemelekatan dan harapan yang salah. Jika kita merenungkan hal-hal ini sehingga kita takut atau tertekan, maka kita merenungkan tidak di jalan yang tepat. Malah, topik ini seharusnya menenangkan batin kita dan lebih jelas karena kebingungan yang disebabkan kemelekatan telah dihentikan.
Saat ini, batin kita mudah dibanjiri oleh proyeksi salah kemelekatan. Kita melihat orang dan objek dengan cara yang tidak realistik. Benda yang berubah dari waktu ke waktu tampak di depan kita secara tetap dan tidak berubah. Itu sebabnya kita kesal kalau barang kita hancur. Kita mungkin berkata, "segala sesuatu tidak kekal adanya," namun kata-kata kita tidak konsisten dengan pandangan diri bahwa tubuh kita dan lainnya sebagai fenomena yang tidak berubah. Konsep tidak realistik kita menyebabkan penderitaan, karena kita memiliki harapan akan barang dan orang yang tidak dapat terpenuhi. Orang yang kita cintai tidak dapat hidup selamanya; hubungan tidaklah sama pada akhirnya; mobil baru tidak akan selalu model mengkilap layaknya baru keluar dari ruang pamer. Jadi, kita terus-menerus kecewa ketika harus berpisah dengan barang yang kita cintai, ketika barang milik kita pecah, ketika tubuh kita menjadi lemah atau berkeriput. Jika kita memiliki pandangan lebih realistik dari hal-hal ini sejak awal dan menerima ketidakkekalan mereka – tidak hanya dari mulut melainkan dari hati kita – maka kekecewaan semacam itu tidak datang.
Merenungi ketidakkekalan dan kematian juga mengurangi kekhawatiran yang tidak berguna yang mengganggu kita dan mencegah kita bahagia dan tenang. Biasanya, kita menjadi sangat kesal ketika dikritik atau dihina. Kita marah ketika milik kita dicuri; kita cemburu bila orang lain mendapat promosi yang kita inginkan; kita bangga akan penampilan kita atau kemampuan atletik kita. Semua sikap ini adalah emosi-emosi pengganggu yang meninggalkan jejak buruk bagi rangkaian mental kita yang membawa masalah bagi kita di kehidupan mendatang. Bahkan dalam kehidupan sekarang kita tidak bahagia. Namun, bila kita renungkan betapa tidak kekalnya barang ini, jika kita ingat bahwa hidup kita pada akhirnya akan berakhir dan tidak ada barang apapun yang menemani kita saat kematian, maka kita berhenti membesar-besarkan pentingnya mereka sekarang. Mereka berhenti menjadi masalah bagi kita.
Ini tidak berarti kita jadi tidak peduli pada orang dan barang sekeliling kita. Sebaliknya, dengan mengurangi konsep salah akan kekekalan yang timbul tergantung pada konsep salah tersebut, batin kita menjadi lebih jernih dan lebih dapat menikmati barang sesuai apa adanya. Kita lebih hidup saat ini, menghargai barang saat ini, tanpa khayalan tentang jadi apa barang itu nanti. Kita sedikit khawatir pada hal kecil dan sedikit terkacaukan saat kita duduk bermeditasi. Kita menjadi lebih sedikit sensitif- ego pada tiap perbuatan yang orang lain lakukan pada kita. Dengan memikirkan dengan sungguh-sungguh ketidakkekalan dan penderitaan, kita dapat berurusan lebih baik dengan perpisahan dan kesukaran saat mereka muncul, dan menyadari bahwa kita masih di dalam perputaran roda samsara. Singkatnya, dengan merenungkan secara benar kenyataan ini, mental kita jadi lebih sehat.
Mengapa ada penderitaan? Bagaimana menghentikan penderitaan?
Penderitaan muncul karena sebab untuk itu hadir: emosi-emosi pengganggu – ketidaktahuan, kemelekatan, kebencian, dsb – dan perbuatan yang kita lakukan dimotivasi oleh "kesalahan konsep" seperti membunuh, mencuri, berbohong, dan seterusnya. Dengan mengembangkan kebijaksanaan merealisasi ketanpaakuan, kita menghentikan sebab dari masalah kita. Kemudian hasil yang penuh kesengsaraan tidak mengikuti, dan malahan, kita dapat tinggal di alam kebahagiaan tanpa akhir atau nirvana. Sementara itu, sebelum kita membangkitkan kebijaksanaan, kita dapat melakukan praktik penyucian dalam rangka mencegah perbuatan destruktif yang ditimbulkan sebelumnya membawa hasilnya.
Sang Buddha juga mengajarkan banyak cara lain berpikir untuk mentransformasi keadaan sulit menuju jalan mencapai pencerahan. Kita dapat belajar tentang ini dan mempraktikkannya mana kala kita punya masalah.
Apakah kita harus menderita agar mencapai pembebasan (nirvana)?
Mempraktikkan ajaran Buddha membawa kebahagiaan dan bukan kesengsaraan. Jalan spiritual tidaklah menyengsarakan. Tidak ada kebajikan khusus dalam penderitaan. Kita telah cukup memiliki masalah, jadi tidak ada alasan untuk kita lebih menderita atas nama mempraktikkan agama. Namun, tidaklah berarti saat kita berusaha keras mempraktikkan Dharma kita tidak akan memiliki masalah. Untuk sementara kita berada pada jalan, perbuatan destruktif yang ditimbulkan sebelumnya yang belum disucikan dapat matang dan membawa masalah. Jika dan ketika ini terjadi, kita harus menggunakan situasi itu untuk memberi energi bagi kita untuk praktik lebih baik agar mencapai alam di atas penderitaan, alam kebahagiaan tanpa akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...