Minggu, 06 Mei 2012

Mengapa Begini Mengapa Begitu - Ven Thubten Chodron (English Version: I Wonder Why) - Part 11 - Bhikkhu, Bhikkhuni & Umat Awam



Anumodana Penerjemah : Tim Sekber PMVBI (Sdr. Amri, S.E.)


BHIKKHU, BHIKKHUNI & UMAT AWAM
Apa manfaat mengambil penahbisan sebagai seorang bhikkhu atau bhikkhuni? Apakah perlu untuk mempraktikkan Dharma?
Tidak, menjadi seorang bhikkhu atau bhikkhuni tidak diperlukan untuk mempraktikkan Dharma. Mengambil penahbisan adalah pilihan individu yang tiap orang lakukan untuk diri sendiri. Tentu saja, ada banyak manfaat ditahbiskan: hidup dalam aturan, seseorang terus menerus menghimpun potensi positif. Selama orang itu tidak melanggar sila, saat tidur pun, ia memperkaya rangkaian mentalnya dengan potensi positif. Seseorang juga punya lebih banyak waktu dan sedikit gangguan untuk praktik. Dengan kewajiban keluarga, banyak waktu dan energi terbuang menjaga keluarga. Anak-anak butuh perhatian, dan sulit untuk meditasi jika mereka bermain atau menangis di dekat kita. Seseorang melihat ini sebagai rintangan dan siapa yang ingin menenangkan batin dan menghimpun potensi positif, dapat memutuskan untuk mengambil penahbisan agar memilki situasi yang lebih baik untuk praktik.
Bagaimana umat awam dapat mempraktikkan Dharma?
Yang ingin menjadi umat Buddha biasa dapat mempraktikkan Dharma dengan baik dengan menaklukkan batinnya. Tidak ada gunanya memandang rendah potensi seseorang dan berpikir, "saya umat awam, mendengarkan ceramah, melafalkan sutra dan bermeditasi adalah pekerjaan para bhikkhu dan bhikkhuni. Hal itu bukan pekerjaan saya. Saya cukup pergi ke vihara, bersujud, melakukan persembahan dan berdoa untuk kesejahteraan keluargaku." Kegiatan ini bagus, tetapi umat awam dapat menjalani kehidupan spritual yang lebih kaya, baik dalam hal pengetahuan Buddhisme maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sangat penting bagi umat awam menghadiri ceramah Dharma dan mengikuti serangkaian pengajaran. Dengan melakukan ini, umat awam akan memahami kebenaran sejati dan indahnya Dharma. Bila tidak mereka menjadi "Buddhis penancap dupa" dan bila seseorang menanyakan sesuatu tentang Buddhisme, mereka kesulitan menjawabnya. Hal itu adalah situasi yang menyedihkan.
Setelah mendengarkan ceramah, seseorang seharusnya mempraktikkan ajaran semaksimal mungkin. Melafalkan sutra atau bermeditasi setiap hari adalah luar biasa. Terkadang para siswa berkata, "Hari-hariku disibukkan oleh pekerjaan, keluarga dan kewajiban sosial. Tidak ada waktu tersisa untuk mempraktikkan Dharma." Ini alasan yang lemah, diciptakan oleh batin yang malas. Selalu ada waktu untuk makan: kita tidak pernah melewatkan makanan ke tubuh dan selalu memiliki waktu untuk itu, begitu juga seharusnya kita memberi makan batin kita. Lagipula, batin kita yang berlanjut pada kehidupan mendatang, membawa serta jejak karma perbuatan kita, bukan tubuh kita. Praktik Dharma tidak dilakukan untuk manfaat Sang Buddha, tapi untuk kita sendiri. Dharma menggambarkan bagaimana menciptakan sebab dari kebahagiaan, oleh karena kita semua menginginkan kebahagiaan, kita semua seharusnya mempraktikkan Dharma semaksimal mungkin.
Juga, sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi umat awam untuk mengambil janji Pancasila Buddhis selama hidup mereka atau mengambil Athasila (delapan sila) pada hari-hari khusus, seperti bulan baru dan bulan penuh (tanggal 1 dan 15 kalender lunar). Dengan cara ini, banyak potensi positif dibuat.
Tanggung jawab keberadaan dan penyebaran ajaran Sang Buddha terletak pada baik bhikkhu dan bhikkhuni maupun umat Buddhis. Bila kita melihat berharganya ajaran Sang Buddha dan menginginkannya terus ada dan tumbuh subur, maka kita memiliki tanggung jawab untuk mempelajarinya dan mempraktikkannya menurut kemampuan kita. Ada banyak contoh umat biasa yang mencapai realisasi spiritual, memberi inspirasi pada kita untuk mempelajari hidup mereka dan berusaha menyamai bahkan melebihi mereka.
Apakah orang yang menjadi bhikkhu dan bhikkhuni melarikan diri dari kenyataan hidup yang keras?
Bila seseorang menjadi seorang bhikkhu atau bhikkhuni karena alasan ini, motivasinya tidak murni, dan orang seperti ini tidak menemukan kepuasan hidup dalam kebhikkhuan. Penyebab penderitaan adalah kemelekatan, ketidaktahuan, dan kebencian. Sikap ini mengikuti kita kemana saja. Sikap ini tidak butuh paspor untuk pergi dengan kita ke negara lain, tidak pula mereka berada di luar pagar vihara. Selama kita memiliki kemelekatan, ketidaktahuan dan kebencian, kita tidak bisa lolos dari masalah, apakah kita bhikkhu/bhikkhuni atau umat awam.
Orang yang menanyakan pertanyaan ini mengira bahwa memiliki pekerjaan, harta, keluarga untuk dijaga adalah tugas berat dan inilah "kenyataan hidup yang keras." Kenyataan yang lebih keras adalah jujur pada diri kita sendiri dan melihat konsep kita salah dan perilaku buruk kita. Pekerjaan yang lebih berat adalah mengurangi kemarahan, kemelekatan, dan kepicikan kita. Seseorang membaca sutra atau duduk meditasi dengan tenang tidak dapat memperlihatkan gedung pencakar langit atau cek sebagai tanda keberhasilannya, tetapi tidak berarti orang itu malas dan tidak bertanggung jawab. Perlu usaha keras untuk mengubah kebiasaan buruk tubuh, ucapan, dan batin; bukan hal mudah menjadi seorang Buddha. Daripada "lari dari kenyataan," praktisi tulus mencoba mencari tahunya! Orang-orang yang mengejar kesenangan duniawi adalah orang yang coba lari dari kenyataan, sebab mereka menghindar akan kenyataan kematian dan fungsi dari sebab akibat. Secara Dharma, mereka malas karena mereka tidak berusaha keras mengatasi kemelekatan, kemarahan, dan kepicikan mereka.
Beberapa orang berpikir, "hanya orang yang tidak tahan ‘di dunia nyata’ menjadi bhikkhu dan bhikkhuni. Mungkin mereka punya masalah keluarga, atau mereka kurang bagus di sekolah atau mereka miskin dan tidak punya tempat tinggal. Mereka pergi untuk tinggal di vihara dan mengucapkan janji hanya untuk memiliki tempat tinggal dan pekerjaan." Berpikir demikian, beberapa orang memandang rendah para bhikkhu. Ini tidak benar. Seseorang menjadi bhikkhu atau bhikkhuni untuk alasan ini, ia tidak memiliki motivasi yang benar, dan guru yang menahbiskan mencoba mengusir mereka. Kebalikannya, mereka yang mengambil janji kebhikkhuan dengan motivasi yang benar memiliki cita-cita kuat untuk mengembangkan potensi mereka untuk mengatasi batin mereka dan menolong mahluk lain.
Apakah seseorang yang mengambil janji kebhikkhuan tidak sayang pada keluarga yang ia tinggalkan?
Tidak sama sekali. Kebalikannya, orang yang dengan tulus ingin menjadikan dunia tempat yang lebih baik melalui praktik agama adalah penuh welas asih. Mereka melihat bahwa dengan menciptakan sebab dari kelahiran kembali yang baik, dengan menyucikan dan mengembangkan batin mereka, mereka akan dapat menuntun mahluk lain menuju kebahagiaan terakhir melalui jalan Dharma. Mereka tahu apa yang memberi manfaat besar bagi orang tuanya dan pelayanan bagi masyarakat. Meskipun meraih realisasi tinggi mungkin tidak terjadi dalam kehidupan ini, mereka memiliki pandangan luas dan bekerja untuk kebahagian dan manfaat jangka panjang. Seorang anak yang penuh welas asih dan dedikasi berpikir, "Bila saya lanjutkan kehidupan duniawiku, saya hanya akan menciptakan penyebab kelahiran di alam lebih rendah bagi diriku sendiri dan menyebabkan yang lain melakukan hal yang sama. Bagaimana saya bisa menolong orang tuaku di kehidupan sekarang maupun akan datang? Dimana bila saya benar-benar terlibat mempraktikkan Dharma dengan tulus, kualitasku sendiri akan meningkat dan saya akan bisa menuntun dan membantu mereka lebih baik untuk jangka waktu lama."
Orang yang menjalani kebhikkhuan meninggalkan kehidupan keluarga tidak berarti mereka menolak keluarganya. Meski mereka ingin menyingkirkan emosi-emosi pengganggu yaitu kemelekatan terhadap keluarga mereka, mereka masih menghargai kebaikan orangtua mereka dan sangat perhatian pada mereka. Daripada membatasi perhatian pada segelintir manusia, orang yang menjalani kebhikkhuan mengembangkan cinta kasih tak terbatas bagi semua dan memperlakukan semua mahluk sebagai bagian dari keluarga mereka.
Bagaimana perasaan orangtua bila anaknya menjadi bhikkhu atau bhikkhuni?
Sangat bahagia. Itu tandanya mereka, sebagai orang tua, telah menanamkan moralitas dan perhatian pada orang lain bagi anak mereka. Kebalikannya, beberapa orang tua kesal bila anak mereka ingin menjadi bhikkhu atau bhikkhuni. Mereka takut anaknya tidak bahagia atau tidak memiliki jaminan keuangan. Beberapa orangtua marah, "Kami bayar banyak untuk pendidikanmu. Siapa yang akan menjaga kami kelak tua nanti bila kamu divihara? Betapa tidak sayangnya kamu!"
Sedih melihat orangtua bersikap seperti ini. Dari sisi mereka, mereka maksudnya baik: mereka ingin anak mereka bahagia. Tetapi kebahagian materi dan memiliki keluarga, karir dan kepemilikan lain bukanlah satu-satunya jalan menuju kebahagian. Nyatanya, hal itu membawa masalah baru: kita menciptakan perbuatan negatif untuk memperolehnya, kita khawatir tidak cukupan dan apa yang akan terjadi pada apa yang kita punyai. Inilah sebabnya Buddha Sakyamuni meninggalkan keluarganya dan kehidupan mewah di istana untuk mencari kebahagian tanpa akhir (selama-lamanya) dan sejati. Tentu saja, orangtuanya juga kesal! Tetapi orang tua yang benar-benar memperhatikan kebahagiaan anaknya akan senang jika si anak ingin mempraktikkan Dharma secara kuat, oleh karena praktik seperti itu akan menjamin anak itu akan bahagia di waktu kematian dan kehidupan masa akan datangnya. Dengan praktik, anak mereka akan menikmati kebahagian pembebasan dan pencerahan. Orang tua yang bijak akan peduli pada kebahagian anaknya, tidak saja di kehidupan sekarang melainkan di semua kehidupan mendatang.
Adalah bijaksana bagi orangtua sadar akan motivasinya sendiri. Ayahanda Sang Buddha ingin dapat berkata, "Putraku seorang raja. Ia sangat dihormati masyarakat seluruh negeri." Juga, orang tuanya terikat pada putranya dan tak ingin berpisah darinya. Hal itu adalah reaksi alamiah orangtua. Betapa ironisnya! Anak mereka menerima lebih banyak rasa hormat dari orang-orang dan terkenal bertahun-tahun oleh kebajikan praktik spritualnya. Ia tidak akan begitu termasyur dan sangat dihargai bila ia menjadi raja dulu!
Orang tua yang melihat kebenaran ajaran Buddha akan senang anak mereka menjalani kebhikkhuan. Praktik spritual anak itu akan bermanfaat bagi yang lain - termasuk orangtuanya - dalam jangka panjang, bahkan bila hasil yang nyata tidak tampak pada kehidupan ini. Mereka akan bahagia bahwa anaknya cerdas dan melihat kebenaran dalam Dharma; mereka akan bangga bahwa anaknya ingin hidup dalam kemurnian moralitas, dan mereka akan bahagia, saat mereka melihat anaknya kaya akan welas asih dan kebijakan. Orang tua seperti ini tidak merasa kehilangan anaknya. Malah, mereka gembira anaknya hidup dalam cara yang bermanfaat.
Apakah mengambil janji kebhikkhuan merupakan pengorbanan yang menyengsarakan?
Tidak seharusnya demikian. Kita tidak seharusnya merasa, "saya ingin sekali dapat melakukan hal-hal ini, tapi sekarang saya tidak bisa." Membebaskan perbuatan negatif tidak dilihat sebagai beban, tapi sebagai kesenangan. Sikap seperti ini datang dari perenungan sebab dan akibat.
Ketika kita berjanji, apakah itu Pancasilanya umat awam atau janji seorang bhikkhu atau bhikkhuni, kita pertama-tama membangkitkan sikap ini, "Saya tidak ingin melakukan perbuatan ini kapan pun. Dalam hatiku, saya tidak ingin membunuh, mencuri, berbohong dan lainnya." Kadang-kadang kita lemah dalam situasi sebenarnya dan tergoda untuk melakukan hal ini, tetapi mengambil janji pancasila memberikan kita kekuatan dan kebulatan tekad tambahan untuk tidak melakukan apa yang tidak ingin kita lakukan. Contohnya, kita dengan tulus ingin menghindari pembunuhan. Tetapi ketika kecoak ada di apartemen kita, kita mungkin tergoda untuk menggunakan insektisida. Telah mengambil janji untuk tidak membunuh, kita ingat bahwa kita tidak ingin membunuh. Kita lebih berhati-hati akan perbuatan kita dan memiliki kekuatan dan kebulatan tekad yang lebih untuk melawan dan menghindarkan emosi-emosi pengganggu yang dapat menyebabkan kita melakukan perbuatan negatif. Dalam cara ini, Pancasila adalah membebaskan, bukannya membatasi diri kita dari kebiasaan untuk mengikuti emosi-emosi pengganggu dan melakukan perbuatan merusak.
Kadang-kadang kita menjumpai Bhikkhu dan umat awam yang kurang baik dan sulit bergaul walau mereka praktik agama. Mengapa?
Butuh waktu untuk mengubah batin. Menghilangkan kemarahan kita bukanlah proses mudah. Kita dapat mengerti hal itu dari pengalaman kita sendiri, ketika kita terbiasa marah, butuh lebih dari sekedar berkata, "Saya tidak seharusnya melakukan ini" bagi kita untuk berhenti. Ia butuh praktik konsisten dan benar. Kita harus sabar dengan diri sendiri, dan sama halnya, kita harus sabar dengan yang lain. Kita semua berada pada jalan; kita semua melawan musuh dari dalam yaitu emosi-emosi pengganggu dan jejak karma masa lalu. Terkadang kita kuat melawannya, di saat lain kita terbawa oleh perasaan marah, cemburu, kemelekatan, atau kesombongan. Kadang-kadang kita melihat kepicikan kita; saat lain kita buta olehnya. Menghakimi dan menyalahkan diri kita sendiri ketika kita mengalah pada emosi-emosi pengganggu tidaklah baik. Seperti halnya, menyalahkan dan mengkritik orang lain ketika mereka begitu hanya sia-sia. Mengetahui betapa sulitnya transformasi internal diri kita, kita seharusnya juga sabar dengan yang lain.
Praktisi yang tidak sempurna bukan berarti metode yang Sang Buddha ajarkan tidak sempurna. Itu artinya mereka tidak praktik dengan baik atau praktik mereka belum cukup kuat. Teramat sangat penting dalam lingkup agama bahwa orang mencoba bersikap harmonis dan menerima kelemahan masing-masing. Tugas kita tidak menunjuk dan berkata, "Mengapa kamu tidak praktik lebih baik? Mengapa kamu tidak mengontrol emosimu?" Tugas kita adalah berpikir, "Mengapa saya tidak praktik lebih baik sehingga perbuatan mereka tidak membuat saya marah?" dan "Apa yang dapat saya lakukan untuk membantu mereka?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...