Minggu, 06 Mei 2012

Mengapa Begini Mengapa Begitu - Ven Thubten Chodron (English Version: I Wonder Why) - Part 3 - Berhala & Persembahan



Anumodana Penerjemah : Tim Sekber PMVBI (Sdr. Amri, S.E.)


BERHALA & PERSEMBAHAN

Apakah umat Buddha menyembahyangi berhala?
Tidak sama sekali! Sebungkah tanah liat atau perunggu atau giok bukanlah objek dari penghormatan dan doa kita. Ketika kita bersujud di hadapan gambar Buddha, kita mengingat kualitas dari mahluk yang tercerahkan. Adalah cinta kasih tak terbatas dan welas asih, kedermawananan, moralitas, kesabaran, usaha yang penuh kegembiraan, konsentrasi dan kebijaksanaan mereka yang kita hormati. Patung atau lukisan, mengingatkan kita akan kualitas, bukannya tanah liat, yang kita sujudkan. Kita tidak butuh sebuah patung di depan kita untuk bersujud atau menghormat pada para Buddha dan kualitas mereka.
Misalnya, jika kita bepergian ke suatu tempat yang jauh dari keluarga, kita memikirkan mereka dan merasakan cinta kasih yang besar. Tetapi kita juga senang memiliki foto mereka untuk mengingatnya dengan lebih baik. Ketika kita melihat ke foto dan merasa cinta pada keluarga kita, kita tidak mencintai kertas dan tinta dari foto! Foto hanyalah memperkuat memori kita. Serupa dengan patung atau gambar Sang Buddha.
Dengan memperlihatkan rasa hormat pada para Buddha dan kualitas mereka, kita terinspirasi untuk mengembangkan kualitas luar biasa mereka pada arus batin kita. Kita menjadi seperti orang yang kita hormati. Ketika kita mengambil contoh kebaikan cinta kasih dan kebijaksanaan para Buddha, kita berusaha keras untuk menjadi seperti mereka.

Apa tujuan memberikan persembahan pada Sang Buddha?
Kita tidak memberikan persembahan karena Sang Buddha membutuhkan persembahan kita. Ketika seseorang telah menyucikan noda-noda dan menikmati suka cita yang datang dari kebijaksanaan, ia pasti tidak membutuhkan sebatang dupa untuk bahagia! Tidak pula kita memberikan persembahan untuk mendapatkan kemurahan hati Sang Buddha. Sang Buddha mengembangkan cinta kasih dan welas asih tak terbatas dulu kala dan tidak akan goyah oleh sanjungan dan suapan seperti mahluk biasa! Memberikan persembahan adalah sebuah cara menciptakan potensi positif dan mengembangkan batin kita. Saat ini, kita memiliki kemelekatan yang berlebihan dan kekikiran. Kita menyimpan yang paling besar dan terbaik bagi kita sendiri dan memberikan kualitas dua atau sesuatu yang tidak kita inginkan kepada orang lain. Dengan sifat mementingkan diri sendiri, kita selalu merasa miskin dan tidak puas, tidak peduli berapa banyak yang kita miliki. Kita senantiasa merasa kehilangan sekecil apapun yang kita miliki. Sikap terhadap objek material ini membuat batin kita gelisah, dan menyebabkan kita melakukan tindakan curang untuk mendapatkan hal yang lebih banyak atau menjadi tidak baik pada orang lain untuk melindungi apa yang kita punyai.
Adalah untuk menghancurkan kebiasaan buruk kemelekatan dan kekikiran itulah kita memberikan persembahan. Ketika kita memberikan persembahan, kita ingin melakukannya tanpa merasa kehilangan. Untuk alasan inilah bahwa dalam tradisi Tibet, tujuh mangkok air dipersembahkan di altar. Air dapat diperoleh dengan mudah sehingga kita dengan mudah mempersembahkannya tanpa kemelekatan atau kekikiran. Dengan mempersembahkan seperti ini, kita membiasakan diri sendiri dengan batin dan tindakan memberi. Jadi kita merasa kaya ketika kita memberi dan merasa senang berbagi barang yang bagus kepada orang lain.
Oleh karena para Buddha, Bodhisattva, dan arahat adalah mahluk tertinggi, maka baik untuk melakukan persembahan pada mereka. Kita biasanya memberi sesuatu pada teman kita karena kita suka mereka. Disini, kita mempersembahkan pada mahluk suci karena kita tertarik pada kualitas mereka. Kita tidak seharusnya memberikan persembahan dengan motivasi menyuap para Buddha, "Saya persembahkan dupa padaMu, kini kamu harus mengabulkan doaku!" Kita memberi dengan sikap penuh hormat dan baik. Jika kemudian kita membuat permintaan, kita melakukannya dengan kerendahan hati. Jangan berpikir bahwa mereka tidak menerima persembahan hanya karena bunga dan buah masih ada di altar keesokan harinya. Mereka dapat menerimanya tanpa mengambil.

Apakah ada arti simbolis tiap-tiap persembahan?
Ya. Bunga melambangkan kualitas para Buddha dan Bodhisatva, dupa melambangkan keharuman sucinya moral. Cahaya menyimbolkan kebijaksanan, dan keharuman melambangkan keyakinan. Mempersembahkan makanan adalah seperti memberikan makanan pada kosentrasi dalam meditasi dan musik menyimbolkan ketidakkekalan dan kekosongan dari semua fenomena.
Pada saat kita secara fisik mempersembahkan setangkai bunga, secara mental kita dapat membayangkan keseluruhan langit terisi oleh bunga-bunga cantik dan mempersembahkannya juga. Ini memperkaya batin kita untuk membayangkan hal-hal baik dan kemudian mempersembahkannya pada para Buddha dan Bodhisatva.
Seharusnyakah kita mempersembahkan makanan kita sebelum memakannya?
Ya. Normalnya kita langsung menyantap makanan dalam piring dengan kemelekatan, sedikit perhatian, dan bahkan tidak benar-benar menikmati. Sekarang, kita berhenti sejenak sebelum makan dan membayangkan makanan sebagai amrita (minuman para dewa) yang penuh kebahagian. Ini dipersembahkan pada Buddha kecil yang terbuat dari cahaya di tengah hati kita (chakra). Buddha itu menikmati makanan dan memancarkan lebih banyak cahaya yang mengisi keseluruhan tubuh dan membuat kita penuh kebahagian. Dengan cara ini, kita memperhatikan Buddha dan proses makan. Kita menciptakan potensi positif dengan mempersembahkan pada Buddha, dan kita juga lebih menikmati makanan itu.
Sebelum makan, beberapa orang suka membacakan doa: "Semoga kita dan rekan sekeliling kita tidak pernah terpisahkan dari Tiga Mustika (Buddha, Dharma, dan Sangha) dalam kehidupan yang akan datang. Semoga kita terus menerus membuat persembahan pada Tiga Mustika dan semoga kita menerima inspirasi dari Tiga Mustika."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...